Monday, May 28, 2012

Doa-nya Roker Mania


Setiap pagi dan sore, dalam perjalanan saya menuju tempat bekerja, saya selalu disuguhi pemandangan yang sama; kereta rel listrik (KRL) Jakarta – Bogor yang gerbongnya penuh berdesakan, hingga pintu KRL AC tidak bisa ditutup atau hingga naik ke atap dan bergelantungan di pintu KRL ekonomi.

Bagi saya, hal itu adalah sebuah pemandangan. Karena saya selalu melihatnya dari sisi seberang. Ketika pagi, saya berdiri di peron KRL arah Bogor, dan melihat betapa membludaknya para komuter yang bekerja ke Jakarta. Ketika sore, saya kembali ke Jakarta, dan melihat wajah-wajah yang telah berubah lelah, berdesakan di kereta untuk pulang. Untuk kembali ke rutinitas yang sama keesokan harinya.

Photo: Me

Dalam jarak itu, terlintas di pikiran saya, bahwa para komuter ini yang setia berkereta untuk berangkat dan pulang kerja (mereka juga saya menamakan diri kami roker- rombongan kereta), adalah manusia-manusia yang mau tak mau, harus dan bisa menaklukan trauma dan rasa takut, lalu beradaptasi.


Bukan hanya satu atau dua roker yang mengalami kecopetan atau minimal melihat orang kecopetan di kereta atau stasiun. Bahkan satu orang bisa kecopetan lebih dari satu kali. Tapi mereka tidak lantas trauma dan takut hingga berhenti naik kereta lalu mencari alternatif berkendara lain. Tidak. Mereka, juga saya (karena saya juga pernah kecopetan) tetap saja naik kereta, dengan mengantongi pelajaran berharga yang memaksa kita belajar; bagaimana supaya tidak kecopetan.

Bukan hanya satu atau dua roker wanita yang menjadi korban pelecehan di kereta. Berhimpitan begitu lekat antara satu orang dengan orang lainnya, berbagi bau dan suhu tubuh tanpa bisa menghindar kemana-mana, tentu saja membuka peluang besar bagi orang-orang yang memang senang memanfaatkan situasi. Tapi apa lantas mereka trauma lalu berhenti naik kereta? Tidak. Pagi dan sore, tetap saja mereka lebur ke dalam sesaknya manusia di dalam rangkaian kereta, mungkin sambil lebih banyak berdoa. Semoga hari ini, tidak ketemu lagi dengan orang yang senang memanfaatkan situasi. Kalaupun trauma pelecehan yang dialami terlalu mengguncangkan, tetap saja mereka naik kereta tapi di gerbong khusus wanita.

Bukan satu dua roker yang mengalami terkena lemparan batu dari entah siapa di pinggiran rel sana. Atau minimal melihat korban lemparan batu, yang luka kepala, yang lebam kakinya, yang terkena pecahan kaca, tapi apa kemudian berhenti naik kereta? Tidak. Tetap saja naik kereta. Dengan lebih hati-hati memilih posisi duduk/berdiri, sambil diam-diam berdoa dalam hati, agar perjalanan kereta ini selamat sampai di stasiun tujuan nanti.

Tanpa disadari, KRL Jabodetabek telah melatih kita menjadi manusia yang lebih hati-hati. Menjadi manusia yang kuat. Menjadi manusia yang mau tidak mau harus mampu mengatasi trauma.  Membuat kita semakin sadar, dalam situasi yang tak banyak bisa kita manipulasi, pasrah, dan menjalani saja apa adanya menjadi satu-satu jalan untuk tetap hidup. Dalam pasrah itu, kita menjadi manusia yang semakin religius, semakin banyak berdoa. Pada kuasa Tuhan dan lindunganNya kita menyerahkan keselamatan perjalanan berkereta kita. Lalu, semoga, dengan banyak berdoa, kita pun hidup kita akan selamat karena dekat denganNya. 

Amin.

No comments:

Post a Comment