Thursday, February 19, 2015

Movie Review : H E R




Ini film tahun 2013 dan tayang perdana di tahun 2014. Agak lupa juga tahun itu muncul di bioskop twentyone apa ngga. Kalau pun muncul, saya melewatkannya, dan mungkin juga, karena genre filmnya yang ngga mainstream jadi ngga bertengger lama di bioskop.


Anyway, thanks to HBO, kemarin saya berkesempatan juga nonton film ini. Film yang mungkin terinspirasi dari SIRI, operating system yang ada di I-Phone. Entah settingnya di tahun berapa, yang jelas pemrograman komputer sudah sangat canggih, hingga terciptalah sebuah OS yang bisa merespon emosi penggunanya dan bisa berkembang sesuai kebutuhan penggunanya. Ketika penggunanya –Theodore, adalah seorang yang sedang patah hati dan sedang berusaha move on, sang OS yang bernama Samantha, berkembang menjadi sesuatu yang menghibur, romantis, dan sesosok yang siap dijadikan pelampiasan.

Melihat bagaimana teknologi telepon genggam mempengaruhi hidup kita sekarang -membuat kita lebih terisolasi disibukkan dengan gadget kita dari pada relasi nyata dengan lingkungan di sekitar, rasanya tidak mustahil bahwa Samantha akan lahir, dan mungkin melihat orang yang asik ngobrol dengan gadgetnya bukan pemandangan yang aneh nantinya. Film ini lah yang membuat kita berhenti sejenak dan menyadari, bahwa ada hal-hal yang tak bisa digantikan teknologi.



Dengan sinematografi yang sederhana dan apik (meski dimaksudkan bersetting modern world, kita tidak disuguhi latar yang penuh dengan cyber atau mobil terbang), film ini dengan luwes membuat kita merasakan Theodore. Merasakan patah hati karena harus berpisah dari istri yang masih dicintai. Merasa jatuh cinta pada suara seksi Samantha (oleh Scarlett Johansson) yang lugu, tapi juga cerdas (bayangkan seorang pacar yang punya google di kepalanya), humoris, dan pandai main musik. Film ini berargumen bahwa love relation bisa saja platonik, hanya berdasarkan komitmen untuk saling berbagi dan saling mengisi dalam aspek intelegensi dan emosional. Namun pada akhirnya, tak bisa dipungkiri kepurbaan manusia,bahwa kita selalu butuh sex.


Theodore-lah yang pertama mengenalkan Samantha pada sensasi sentuhan –yang mestinya sulit dicerna sebuah OS (bayangkan kamu mencoba menjelaskan apa itu dingin pada seseorang yang tidak bisa merasa suhu). Sementara Samantha selalu ingin merasakan rasanya punya tubuh- sesuatu yang ia sadari penting setelah “bercinta” dengan Theodore, hingga ia mengusulkan seorang sexual surrogate, walau pada akhirnya gagal.


Sebaliknya, Her seakan memberi contoh sempurna, bahwa manusia bisa memilih apa-apa yang bermakna bagi dirinya sendiri. Tak peduli Samantha hanyalah suara, tetapi jika ia bisa memenuhi kebutuhan emosional Theodore, menemaninya saat merasa sepi, membuatnya merasa siginifikan, maka Samantha bermakna banyak baginya. Pada skala lain, sama dengan seorang anak yang memiliki boneka yang bisa berbunyi "I Love You" dan membuat anak itu merasa sungguhan dicintai, maka itu bermakna baginya. Akan selalu menjadi bagian dari dirinya dan tidak ada apapun yang bisa mengubahnya. 
 

Butuh jatuh cinta pada seorang Samantha, bagi Theodore, untuk akhirnya menyadari bahwa bertumbuh dan berubah adalah sesuatu yang niscaya bagi manusia, dan bahkan bagi sebuah OS yang pada film ini digambarkan berkembang lebih lesat dan lebih pesat intelegensinya dibandingkan manusia. Ia menyadari bahwa hubungannya dengan mantan istrinya bertumbuh dan berubah. Dari waktu ke waktu dalam kebersamaan, mereka menjadi orang yang berbeda. Film ini tak memberi tips bagaimana mempertahankan pernikahan sementara suami atau istri sudah berubah dari orang yang mereka kenal ketika jatuh cinta dulu. Film ini menekankan bahwa dalam sebuah hubungan, pastilah ada sesuatu dari pasangan kita yang kita ambil dan tumbuh menjadi bagian dari diri kita dan sebaliknya. Kita tidak bisa menjadi keras kepala dengan menolak perubahan. Maka Samantha menjadi kesadaran bagi Theodore, bahwa ia juga bisa move on, dan membuka hatinya, bersedia tumbuh dan berkembang bersama cinta yang lain. "Now we know how." adalah ungkapan Samantha bahwa mereka telah belajar jatuh cinta, dan Theodore akan dapat merasakan dan mengulangi pengalaman yang sama.

Pada akhirnya, menonton film ini, membuat saya berpikir, betapa ajaib bila relasi manusia-manusia bisa tergantikan dengan relasi manusia-teknologi. Akan sangat hebat bila Samantha memang sungguhan ada untuk menjadi terapis, membantu manusia mengatasi segala permasalahan psikologis, mengurai kegelisahan filosofis, atau menjadi teman berbincang yang tidak judgemental, untuk pada akhirnya mengembalikan manusia pada hubungan antar manusia yang natural dan humanis.


No comments:

Post a Comment