Friday, February 19, 2016

MOVIE REVIEW : Surat Dari Praha (2016)


Berbekal kangennya saya akan film Indonesia yang bagus, saya menonton Surat Dari Praha. Iming-iming latar luar negeri sempat membuat saya khawatir film ini akan berakhir klise dengan semata-mata menjual pemandangan untuk penontonnya. Tapi kekhawatiran saya ditampik oleh pemilihan lokasi yang begitu personal, detil, akrab, memang tak mewah, dan tidak berkesan menyombong; syuting di luar negeri looh. Si sutradara, Angga Dwimas Sasongko, berhasil menampilkan sinematografi yang manis, puitis, sarat emosi, dengan objek-objek sederhana saja.


Film ini bisa dikatakan film musikal. Balada karya Glen Fredly mengisi plot sebagai bagian dari cerita, bukan semata-mata musik pengiring. Salah satu adegan yang saya suka, adalah ketika Larasati (Julie Estelle) bermain piano di apartemen Jaya, dan Jaya (Tio Pakusadewo) bermain harmonika di tengah panggung pertunjukan, di depan deretan bangku penonton yang kosong, berbarengan memainkan nada dari lagu yang sama.


Sayangnya, ada kesan ketidakpuasan saya terhadap alur dan logika ceritanya. Mengapa sebagai konflik utama, Jaya tidak bersedia menandatangani tanda terima yang diminta Larasati? Padahal, jika memang ia telah mengikhlaskan masa lalunya, bukankah mestinya ia dengan ringan hati saja menandatangani tanda terima, sehingga Larasati bisa segera pulang, dan kehidupannya kembali seperti biasa? (tapi lalu tidak akan ada film ini tentu). Saya pikir, akan lebih masuk akal bila konflik utama cerita adalah Larasati yang keras kepala ingin tahu siapa dan apa hakikat Jaya dalam kehidupan Ibunya diadu dengan Jaya juga keras kepala tak mau menjelaskan karena dia sudah mengikhlaskan masa lalunya.


Penjelasan yang penting bagi Larasati karena Jaya adalah alasan yang membuat Larasati mesti tumbuh merasakan ibu yang tak mencintai ayahnya, dan mengalami ibu yang lebih peduli pada kehadiran tukang pos dibanding pada anaknya yang menjelang hari pertama masuk sekolah, dan bahwa si ibu bahkan mungkin tidak tahu kalau anak gadisnya pandai main piano.


Saya juga agak risih dialog yang ber-saya-anda antara Larasati dan Jaya. Mungkin penulis naskahnya bingung sapaan apa yang lebih tepat antara keduanya. Mungkin lebih enak didengar kalau Larasati ber-anda dengan Jaya dan sebaliknya Jaya ber-kamu dengan Larasati. Sah-sah saja, karena Larasati berusia lebih muda satu generasi.


Ada juga adegan yang membuat saya mengerenyitkan kening. Ketika Larasati dan Jaya bermain piano bersama, dan Larasati bernyanyi sambil bermanja-manja di bahu Jaya, ah, tadinya saya ingin sekali adegan itu lebih berkesan pada keakraban ayah dan anak. Tapi saya tidak mendapatkan itu. Cara Larasati menatap Jaya, lebih tampak seperti tatapan penuh cinta, ditambah lagi adegan selanjutnya yaitu Larasati dan Jaya bangun pagi setelah sama-sama tertidur, berpelukan, di bangku ruang tamu. Well, saya jadi tidak tahu, melalui adegan itu, penonton diharapkan untuk menyimpulkan apa atas evolusi hubungan Larasati dan Jaya.


Lain hal yang agak mengganggu juga menurut saya adalah tampilan pemeran-pemeran pembantu yang aktingnya kurang all-out. Supir taksinya kurang serem, waiter yang ngebantu Jaya waktu dia mabok juga keliatannya ngga tulus, dan si Bagong, guguk lucu itu, ah, sayangnya saya sering nonton Caesar the Dog Wisperer, jadi bisa berasumsi bahwa mungkin, kayaknya, Jaya sama Bagong baru kenalan beberapa jam sebelum syuting.
 

Pada akhirnya, saya merasa justru surat menuju Praha yang serasa bagaikan ledakan di akhir sulutan sumbu konflik antara Jaya dan Larasati. Surat dari si Ibu, yang membuat saya tersedu-sedu sampai patner nonton saya yang kurang sensitif bingung, apa sih yang sedih? Surat itu menyimpulkan, bahwa maksud ia meminta Larasati untuk bertemu Jaya bahwa mungkin anaknya itu akan menemukan jawaban dari pertanyaan yang selama ini ia punya. Pertanyaan tentang ayah-ibunya, pertanyaan tentang dirinya sendiri, dan bahwa selama ini, si ibu tidak dapat memberikan jawaban, karena mungkin ia tak sanggup menjabarkan penjelasan. Di surat itu pun si ibu mengatakan bahwa (seperti banyak ibu lainnya) mengerti betul siapa dan bagaimana anaknya. Hanya mungkin Larasati yang tidak merasakan itu.



Jadi setelah nonton, bisalah saya ucapkan kalimat klise yang sering diucapkan penonton Indonesia yang doyan drama; Filmnya bagus, sedih..


*bingung baca review ini, sila googling dulu sinopsis lengkapnya :D

No comments:

Post a Comment