Saturday, November 5, 2011

cita-cita kota

Gembel dan pengemis (gepeng) mungkin sudah menjadi keseharian yang menjadi bagian dari aktivitas masyarakat di kota besar. Di Jakarta, mereka nyaris ada di mana-mana. Di perempatan jalan, berkeliling dari satu mobil ke mobil lain di tengah kemacetan, duduk di jembatan penyeberangan, atau menyusuri gerbong demi gerbong kereta rel listrik. Bagaimanapun, Jakarta, si kota sejuta mimpi, tak bisa menghindari kehadiran orang-orang yang berangan-angan bisa merubah nasib, juga tak bisa melawan ketika slum area bertumbuhan sama cepatnya dengan pembangunan mall dan jalan layang.

Ketika bulan Ramadhan tiba, entah dari mana populasi gepeng di hari-hari puasa bertambah. Bukan hanya di tempat-tempat biasa, di bulan Ramadhan konsentrasi keberadaan mereka hingga di halaman masjid-masjid besar dan pemakamam. Bulan ibadah bagi umat muslim itu menjadi momen bagi gepeng untuk menambah penghasilan, terutama di kota besar seperti Jakarta. Penerimaan warga Jakarta terhadap kehadiran mereka pun beragam. Para pengguna jembatan penyeberangan biasanya risih dengan kehadiran mereka di sepanjang jembatan. Begitu pula pengguna jalan raya yang kerap di hampiri ketika berhenti di perempatan lampu merah. Ada pula yang dengan senang hati memberi koin lima ratus atau seribu bahkan memberi tambahan roti dan minuman, sedekah, katanya.


Gepeng adalah salah satu faktor yang menggagalkan cita-cita Jakarta menjadi kota yang Beriman alias bersih indah dan nyaman. Dan satpol PP atau yang disebut kamtib oleh para gepeng rutin mengagendakan penertiban gepeng di hari-hari ramadhan. Sedari dulu langkah yang diambil selalu sama, satpol PP beroperasi, gepeng berlarian, mereka berkejaran, yang tertangkap di bawa ke panti sosial untuk diberikan pembinaan sosial, yang lolos sembunyi sementara untuk kembali ber-gepeng esok harinya.

Melihat fenomena ini, nampak pemerintah bersikap ragu-ragu. Sikap ragu-ragu ini tercermin dari tindakan pemerintah dalam mengatasi keberadaan gepeng. Tindakannya begitu-begitu saja. Pola lama. Tidak banyak memberikan perubahan. Yang ada justru semakin sering satpol PP beroperasi, panti sosial semakin kelebihan beban, setelah selesai pembinaan, gepeng yang sudah pernah terjaring pun belum tentu kapok dengan tidak meng-gepeng lagi. Dan saya yakin, pemerintah bukannya tidak tahu hal ini. Pemerintah Daerah di beberapa provinsi bahkan memotong anggaran pengelolaan panti sosial karena dianggap tidak memberikan keuntungan.

Masyarakat kota besar pun bersikap ragu-ragu terhadap kehadiran mereka. Di satu sisi ada yang merasa terganggu dan merasa tidak nyaman, di sisi lain oke-oke saja, bahkan dengan rela menyempatkan memberi. Memang, memberi pada orang yang meminta-minta adalah hal yang dianjurkan. Apa lagi yang diminta adalah orang yang berpunya. Betapa kikirnya orang berpunya yang telah diminta, tapi tetap menyembunyikan tangannya dan enggan memberi. Tetapi terhadap gepeng di kota besar, penderma menjadi skeptis; apa benar si gepeng itu fakir miskin?, apa benar si gepeng itu benar-benar tak mampu bekerja lagi sehingga memilih meminta-minta?, berapa penghasilannya sehari, kalau dikumpulkan dalam sebulan, apa lebih besar dari gaji bulanan karyawan pada umumnya?, atau berprasangka; jangan-jangan uang yang diberikan untuk membeli rokok, untuk membeli minuman keras, untuk membeli narkoba, ah, betapa sia-sia.
Saya sendiri berpendapat, ketika hati ini ragu dan tidak ikhlas, sebaiknya tidak usah berderma. Menolak dengan halus dan dengan kata-kata yang baik tidak akan membuat saya rugi. Semua orang ingin apa yang didermakannya menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain yang sungguh-sungguh membutuhkan. Bukan untuk menambah-nambah kekayaan orang yang malas bekerja. Tapi apakah ada pilihan?

Tentu saja ada. Saat ini banyak penyalur zakat, amal, sedekah, perpuluhan, atau apapun namanya, untuk orang-orang yang sungguh-sungguh membutuhkan. Seringkali, program-program yang dibuat lembaga-lembaga ini adalah program produktif, memberi modal untuk orang yang mau berusaha agar mereka tidak (lagi) meminta-minta.

Kesimpulannya, mungkin penertiban gepeng perlu tetap dilakukan. Tetapi, menggalakkan anjuran untuk berderma melalui lembaga yang dapat dipercaya, mungkin bisa lebih efektif. Secara frontal, mari kita bayangkan spanduk besar bertuliskan, ‘dermakan harta anda melalui lembaga zakat-infaq bla-bla-bla’ di perempatan lampu merah jalan, atau di stasiun, atau di terminal, atau di jembatan penyebrangan. Orang akan lantas ingat bahwa ada jalur yang lebih bisa membuat hati ini pasti dan ikhlas untuk memberi. Mungkin suatu saat, penderma koin 500 rupiah berkurang, penghasilan gepeng berkurang, gepeng berhenti menggepeng, gepeng masuk program dari lembaga penyalur derma, dan kota besar seperti Jakarta mungkin saja berwajah baru. Mungkin.*diucapkan dengan nada optimis.

No comments:

Post a Comment