Showing posts with label renungan. Show all posts
Showing posts with label renungan. Show all posts

Sunday, April 5, 2015

GRUP BARU TEMAN LAMA



Suatu pagi, tiba-tiba, whatsapp saya ramai bercuit-cuit (kebetulan ringtone untuk message di whatsapp itu suara burung). Ternyata eh ternyata, tanpa persetujuan saya (di whatsapp memang ngga ada feature untuk setuju atau ngga setuju sih), saya sudah masuk di grup yang isinya teman-teman SMA kelas III. Saya kelas III SMA itu kira-kira 11 tahun yang lalu (yah, ketauan deh umurnya).

Untuk menghindari keberisikan grup itu, saya hanya pasrah dan me-mute notifikasinya selama satu tahun aja. Abisnya kalo left kan keliatan dan lagi, nanti adminnya tersinggung. Tapi, ini si admin ngga mikir kali ya, waktu SMA kan ngga bisa satu kelas semuanya jadi satu grup. Kalo bikin kelompok belajar juga pasti pada milih-milih temen yang paling cucok, eh, tetiba ini dia main bikin grup dan semuanya ditumplekin disitu. :P  Yah, somehow, masa-masa SMA apalagi kelas III bukan masa-masa yang dengan antusias ingin saya kenang.
Meski begitu, ke-kepoan saya berlanjut dengan mengintip foto-foto profil teman-teman saya itu, pengen tau mereka gimana ya sekarang. Secara umum, beginilah reaksi saya melihat foto-foto mereka,

Wednesday, March 4, 2015

WHAT IS LEFT AND WHAT IS RIGHT



Saya dulu puitis. Bengong sebentar di halaman fakultas kampus, lihat pohon gmelina terhembus angin dan menggugurkan daun-daunnya, jadi deh satu puisi. Melintas di pinggir danau kampus di sore hari yang mendung, jadi deh satu puisi lagi. Ngga percaya? Ini contohnya,



Sekarang, sulit sekali membuat puisi. Mencoba menulis deskripsi untuk masuk ke dalam cerita fiksi saja sulit. Jari-jari ini hanya lancar ketik-ketik ketika mengonsep surat resmi yang merupakan pekerjaan di kantor sehari-hari. Ketika saya melihat kumpulan puisi-puisi dan cerita-cerita yang dulu saya tulis dengan begitu mudahnya, seringkali saya tak percaya bahwa saya yang menulis itu. Saya lupa bahwa tulisan-tulisan itu bagian dari saya dan lupa hal-hal apa yang menginspirasi saya untuk menulisnya.

Thursday, November 7, 2013

Menulis adalah satu cara untuk menata pikiran-pikiran kita. - sesuatu yang entah saya baca/dengar dimana.


Maka saya ingin menulis tentang satu hal yang beberapa waktu ini berkelebatan dalam pikiran. Satu hal itu secara sederhana kita bahasakan sebagai 'kehilangan'.

Ada satu episode Bones yang sempat saya tonton. Pada adegan penutup Bones dengan terbata-bata menjelaskan perubahan apa yang ia rasakan semenjak hidup 'berpartner' dengan Booth. Sebelumnya, dalam pekerjaan sehari-harinya yang berhadapan dengan kematian, orang-orang hilang dan kehilangan, Bones bisa menjaga jarak, mengontrol emosi, bekerja sebaik-baiknya tanpa merasa terpengaruh suasana sedramatis apapun dari kematian yang menyebabkan kehilangan ini. Namun semenjak ia hidup berpartner, Bones mulai mengerti apa yang dirasakan oleh orang-orang yang kehilangan. Kini Bones memiliki Booth, lalu ia mengerti rasanya takut kehilangan.

Wednesday, September 25, 2013

MELANKOLIA FOTO ISTIMEWA



Tulisan ini berawal dari sebuah foto; seorang laki-laki tua tersenyum lebar, dari ekspresinya ketika di foto, kita akan langsung tahu bahwa ia sungguh sangat gembira. Lalu, fotografer yang saya tak tahu namanya, menambahkan keterangan; foto itu ia ambil saat ia melakukan perjalanan di bagian utara Vietnam, dan laki-laki yang tersenyum lebar itu belum pernah di foto sebelumnya.
 
Photo by: Anonymous
Sambil menatapi foto itu, saya mengkhayalkan situasi ketika sang fotografer mengarahkan kamera pada si kakek, si kakek tersenyum lebar, lalu sang fotografer memamerkan hasil jepretannya pada layar kamera digital, meminta alamat si kakek, dan berjanji akan mengirimi hasil cetakannya nanti. Mungkin si kakek menawarkan sang fotografer untuk istirahat sejenak di rumahnya, mungkin juga tidak. Mungkin si kakek pulang ke rumahnya dengan hati sumringah, membayangkan rasanya punya selembar foto yang bisa ia simpan. Bisa jadi kenang-kenangan untuk anak dan cucunya.

Foto ini membuat saya melankolis. Seperti ketika saya melihat foto-foto tua dengan warna hitam putih yang telah menguning. Masa-masa ketika orang tua saya masih anak-anak atau remaja, kamera tentu saja benda luar biasa mewah yang tak pernah terpikirkan untuk dimiliki sendiri. Jadi ketika ibu saya menunjukkan beberapa fotonya di masa remaja, saya menjadi melankolis karena membayangkan bagaimana foto itu diambil.