Showing posts with label eksistensi diri. Show all posts
Showing posts with label eksistensi diri. Show all posts

Thursday, November 7, 2013

Menulis adalah satu cara untuk menata pikiran-pikiran kita. - sesuatu yang entah saya baca/dengar dimana.


Maka saya ingin menulis tentang satu hal yang beberapa waktu ini berkelebatan dalam pikiran. Satu hal itu secara sederhana kita bahasakan sebagai 'kehilangan'.

Ada satu episode Bones yang sempat saya tonton. Pada adegan penutup Bones dengan terbata-bata menjelaskan perubahan apa yang ia rasakan semenjak hidup 'berpartner' dengan Booth. Sebelumnya, dalam pekerjaan sehari-harinya yang berhadapan dengan kematian, orang-orang hilang dan kehilangan, Bones bisa menjaga jarak, mengontrol emosi, bekerja sebaik-baiknya tanpa merasa terpengaruh suasana sedramatis apapun dari kematian yang menyebabkan kehilangan ini. Namun semenjak ia hidup berpartner, Bones mulai mengerti apa yang dirasakan oleh orang-orang yang kehilangan. Kini Bones memiliki Booth, lalu ia mengerti rasanya takut kehilangan.

Wednesday, September 25, 2013

MELANKOLIA FOTO ISTIMEWA



Tulisan ini berawal dari sebuah foto; seorang laki-laki tua tersenyum lebar, dari ekspresinya ketika di foto, kita akan langsung tahu bahwa ia sungguh sangat gembira. Lalu, fotografer yang saya tak tahu namanya, menambahkan keterangan; foto itu ia ambil saat ia melakukan perjalanan di bagian utara Vietnam, dan laki-laki yang tersenyum lebar itu belum pernah di foto sebelumnya.
 
Photo by: Anonymous
Sambil menatapi foto itu, saya mengkhayalkan situasi ketika sang fotografer mengarahkan kamera pada si kakek, si kakek tersenyum lebar, lalu sang fotografer memamerkan hasil jepretannya pada layar kamera digital, meminta alamat si kakek, dan berjanji akan mengirimi hasil cetakannya nanti. Mungkin si kakek menawarkan sang fotografer untuk istirahat sejenak di rumahnya, mungkin juga tidak. Mungkin si kakek pulang ke rumahnya dengan hati sumringah, membayangkan rasanya punya selembar foto yang bisa ia simpan. Bisa jadi kenang-kenangan untuk anak dan cucunya.

Foto ini membuat saya melankolis. Seperti ketika saya melihat foto-foto tua dengan warna hitam putih yang telah menguning. Masa-masa ketika orang tua saya masih anak-anak atau remaja, kamera tentu saja benda luar biasa mewah yang tak pernah terpikirkan untuk dimiliki sendiri. Jadi ketika ibu saya menunjukkan beberapa fotonya di masa remaja, saya menjadi melankolis karena membayangkan bagaimana foto itu diambil. 

Saturday, October 1, 2011

GADGET

    Suatu kali, pesawat sudah siap terbang, tetapi masih juga belum jalan. Pengumuman bahwa pintu ditutup juga sudah, tetapi masih juga menunggu sesuatu. Tunggu-tunggu, lalu datanglah seorang laki-laki, berpenampilan rapi, memakai headset, tangan kanan menggenggam dua buah handphone, tangan kiri membawa tas laptop, dan di punggung tas ransel. Gegas ia menuju kursi paling belakang, mengatur bagasi kabinnya, lalu duduk. Ow, jadi ini orang penting yang ditunggu-tunggu.
Peringatan untuk mengenakan sabuk pengaman, meluruskan tegakan kursi, melipat meja, membuka penutup jendela, dan mematikan handphone sudah terdengar. Tetapiii, laki-laki ini masih sibuk dengan handphone beri hitamnya, dengan smartphone lainnya, dengan headsetnya. Satu kali, awak kabin mengingatkan untuk mematikan gadget-gadgetnya, ia berkata sudah di airplane mode. Dua kali, awak kabin melintas, dan kembali mengingatkan bahwa tetap harus dimatikan. Ketiga kali awak kabin sampai menunggunya untuk mematikan semua gadgetnya.
   Setelah membuat pesawat menunggu, apa kali ini ia ingin membuat pesawat gagal lepas landas?
   Lampu tanda sabuk pengaman masih menyala, pesawat lepas landas menuju ketinggian jelajah, laki-laki ini gelisah mengetuk-ngetuk jarinya, mengambil kartu informasi di kantung kursi, membolak-balik, lalu meletakannya kembali, melihat jam tangan, lalu mengetuk-ngetuk jari lagi.