Tulisan ini berawal dari sebuah
foto; seorang laki-laki tua tersenyum lebar, dari ekspresinya ketika di foto,
kita akan langsung tahu bahwa ia sungguh sangat gembira. Lalu, fotografer yang saya tak tahu namanya,
menambahkan keterangan; foto itu ia ambil saat ia melakukan perjalanan di
bagian utara Vietnam, dan laki-laki yang tersenyum lebar itu belum pernah di
foto sebelumnya.
Sambil menatapi foto itu, saya
mengkhayalkan situasi ketika sang fotografer mengarahkan kamera pada si kakek,
si kakek tersenyum lebar, lalu sang fotografer memamerkan hasil jepretannya
pada layar kamera digital, meminta alamat si kakek, dan berjanji akan mengirimi
hasil cetakannya nanti. Mungkin si kakek menawarkan sang fotografer untuk
istirahat sejenak di rumahnya, mungkin juga tidak. Mungkin si kakek pulang ke
rumahnya dengan hati sumringah, membayangkan rasanya punya selembar foto yang
bisa ia simpan. Bisa jadi kenang-kenangan untuk anak dan cucunya.
Foto ini membuat saya melankolis.
Seperti ketika saya melihat foto-foto tua dengan warna hitam putih yang telah
menguning. Masa-masa ketika orang tua saya masih anak-anak atau remaja, kamera
tentu saja benda luar biasa mewah yang tak pernah terpikirkan untuk dimiliki
sendiri. Jadi ketika ibu saya menunjukkan beberapa fotonya di masa remaja, saya
menjadi melankolis karena membayangkan bagaimana foto itu diambil.