Ketika baru pertama kali nonton sebuah film, tanpa clue yang
cukup tentang apa film itu bercerita, biasanya saya hanya berharap film itu
bukan film sci-fi, tidak melibatkan alien, vampir, atau bercerita tentang
mamang-mamang yang naik haji terus gak pulang-pulang.
Seperti ketika saya nonton dua film ini di HBO; ekspektasi
saya biasa-biasa saja. Remote siap di tangan untuk pindah channel kalo-kalo
ditengah cerita filmnya jadi ngga menarik. And that wasn’t happening. I was staying
in front of the TV until those movies ends. Oke, memang agak ketinggalan ya
nonton Rachel Getting Married sekarang, 7 tahun setelah film itu release. But
however, adegan-adegan di dua film ini, lingering in my mind for a few days
after. Dan sederhananya, posting kali ini, saya pengen cerita kenapa dua film
ini begitu berkesan buat saya.
1. TRACK
Dari judulnya, saya kira ini film inspirasional tentang
pengamen yang sukses bikin album dan jadi artis internasional. Tapi bukan sodara-sodari.
Film ini bercerita tentang perjalanan seorang Robyn Davidson, perempuan berusia
27 tahun, melintasi gurun di tengah-tengah Australia, mulai dari Alice Spring
dan berakhir di pantai Samudera Hindia. Dalam perjalanan itu dia ditemani
seekor anjing bernama Diggity dan unta-unta yang difungsikan untuk membawa
basic needsnya. That’s all. Maksudnya, ya, dia sendirian, melintasi gurun.
Saya jadi suka banget sama film ini, karena saya merasa film
ini berhasil menampilkan keindahan dari bersendiri di tengah gurun. Cinematografinya,
kalau boleh saya bilang, puitis. Menonton film ini, saya serasa diajak jalan
kaki bareng Robyn di bawah nyalangnya sinar matahari gurun, menggandeng tali
leher unta, menikmati sepinya ngga ketemu manusia lain, tidur dibawah langit
penuh bintang, diselimuti kepekatan sekeliling tanpa lampu listrik, dan
kemegahan Samudera Hindia di akhir perjalanannya. Menghanyutkan.
Saya juga merasa ikut kehausan ketika Robyn melintasi tempat
yang ngga ada air sama sekali, panasnya punggung yang terbakar, fatamorgana,
paniknya tersesat kehilangan kompas atau ditinggal untanya, badai gurun, dan
yang paling sedih, ketika Diggity mati karena ngga sengaja makan racun.
TRACK tidak secara eksplisit mengatakan apa sebenarnya
tujuan Robyn melakukan perjalanannya. Tapi saya sebagai penonton, melihat
keinginannya menempuh perjalanannya sebagai symbol kebebasan. Bebas dari
kehidupan sosial dan modernitas. Dengan bersendiri melintasi gurun, Robyn bisa
meninggalkan kebisingan dan keruwetan hidup bersama manusia-manusia lain dan
meninggalkan atribut-atribut yang ia perlukan untuk diterima di masyarakat.
Contoh di film ini, Robyn bebas menentukan bagaimana ia ingin berpakaian; pakai
scarf yang dililit jadi kemben, pake celana dalem dan outer kimono aja, atau
bahkan telanjang sama sekali (who cares? Nobody out here to see her naked). Dia
ngga perlu lagi toilet yang higenis, ngga perlu mandi apalagi rangkaian
skincare, dan dengan begitu ia menyadari kebutuhan esensialnya sebagai manusia
ternyata ngga banyak-banyak amat. Cukup makanan kaleng (tanpa ribet kuliner
ini-itu), minum, pakaian yang itu-itu aja tanpa peduli model yang penting cukup
ketika cuaca panas atau ketika suhu drop menjadi dingin di malam hari, sahabat
sejatinya diggity, kompas penunjuk arah, dan unta-untanya. Ketika diggity harus
mati karena keracunan, barulah dengan ironisnya Robyn mengakui kalau ia begitu
kesepian.
There is a beauty of being alone in a wildlife, like ancient
people before us, but theres also a sadness, upon realization, that actually,
human can not life completely alone.
Photo By Rick Molan, National Geography |
And actually, this Robyn is turn out to be a real person.
Yep, track is happened in 70’s. Kisah perjalanan Camel Lady ini dibukukan
dengan judul yang sama, dan pada tahun kejadiannya, dimuat di majalah National
Geographic (dokumentasi oleh Rick Molan, muncul juga sebagai tokoh di film ini).
Setelah googling-googling dan baca beberapa artikelnya, saya menyadari
kekurangan film ini. Di filmnya, Robyn tidak tampak terlalu terlibat dengan
suku aborigin yang ia temui di sepanjang perjalanannya. Padahal kenyataannya,
Robyn malah sampai belajar bahasa aborigin dari kaset yang ia setel di radio
yang ia bawa, setiap malam, dan ia pun menjadi aktivis yang sangat concern
dengan suku aborigin.
Photo By Rick Molan, National Geography |
However, tulisan ini cuma cara pandang yang dangkal terhadap
sebuah perjalanan epic seorang perempuan muda. Terus terang, saya penasaran
baca bukunya, apa sih yang ada di kepala Robyn sebenarnya?
2. Rachel Getting Married
Pertamanya, saya ngga yakin ngerti ketika nonton film ini.
Tapi entah kenapa, sepanjang nonton, saya berlinangan air mata T-T. Mungkin
karena lagi PMS, mungkin lagi banyak masalah, mungkin saya lelah (lho). Cedih,
hiks, karena saya mengambil sudut pandang dari posisi Kym.
Dari judulnya, langsung taulah kalo setting film ini seputar
persiapan-perayaan pernikahan Rachel (si Kakak perempuan yang mau married,
obviously). Film ini mencoba bercerita tentang bagaimana sebuah keluarga menghadapi the blacksheep of the family (Kym,
drug addict little sister yang dikasih hari bebas dari rehabilitasi khusus buat
kawinan kakaknya) di moment yang (seharusnya) penuh kebahagiaan itu, dan
bagaimana si Kym ini menerima dan melakoni posisi yang disediakan keluarganya
untuk dia di moment itu.
Selanjutnya kita tahu pernah terjadi tragedi di keluarga
ini. Kym pernah mengendarai mobil dalam keadaan high, kehilangan kontrol, lalu
kecelakaan. Di mobil itu ada dia dan adiknya, Ethan (si bungsu dalam keluarga).
Kym selamat, adiknya ngga. Beban inilah yang disandang Kym selama hidupnya. Dia
ngga pernah bisa maafin dirinya sendiri karena telah jadi penyebab meninggalnya
Ethan. Lalu kita tahu peristiwa selanjutnya dalam keluarganya adalah perceraian
orang tua. Mungkin karena sebagai orang tua, mereka ngga mampu menanggung
sejarah yang begitu muram; meninggalnya anak bungsu, dan anak tengah yang jadi
pecandu.
Sebagai Rachel mungkin wajar jika dia ngga terlalu simpati
sama Kym. Buat dia Kym adalah sumber kehancuran keluarganya (adik meninggal,
bapak-ibu bercerai). Dalam sudut pandangnya, kehadiran Kym sekedar formalitas
aja dan dia mau Kym jangan terlalu menarik perhatian, jangan banyak tingkah,
jangan banyak omong, dan harus nurut sama apa yang udah diatur sama Rachel. This
is her wedding, and she wants it to perfect, dia ngga mau adiknya itu bikin
moment ini jadi berantakan.
Sisi lain, Kym ngga mau diperlakukan seperti itu. Dia juga
ingin didengar. Yap, memang dia menanggung dosa terbesar sebagai penyebab
meninggalnya Ethan, yap dia malu-maluin karena jadi pecandu, dan (mungkin) dia
juga sebagai penyebab bercerainya kedua orangtuanya, tapi dia telah memutuskan
untuk berubah menjadi lebih baik dan merasa berhak untuk ikut bergembira di
acara kakaknya. Bukan sebagai formalitas yang sekedar ada dan diam. Dan yang
paling penting, dia masih menginginkan posisinya di keluarga itu; as a lovely
sister dan daughter, and she know theres still so much to do to earn it.
Dari gambaran itu, saya merasa Kym telah diperlakukan tidak
adil. Memang dia bersalah karena menyia-nyiakan hidupnya dengan jadi drugs
addict. Tapi, apakah betul-betul dia yang bertanggung jawab akan kematian
adiknya? Menurut saya, tidak. Tentu saja ada kelalaian orang tuanya ketika Kym
mengenal drugs dan juga ketika mereka mempercayakan bocah kecil berkendara
bersama kakaknya yang seorang pecandu. Namun, Kym lah yang paling heroik, dan
paling menyadari beban itu sebagai sesuatu yang harus ia tanggung sepanjang
hidupnya. Bukan kakaknya, bukan bapaknya, atau ibunya.
Yg film tracks gw ikutan sedih jir waktu diggity keracunan. Dan bisa dibilang diggity keracunan karena Robyn melanggar aturan 'wanita tdk boleh memotong'.
ReplyDelete