Gembel dan pengemis (gepeng) mungkin sudah menjadi
keseharian yang menjadi bagian dari aktivitas masyarakat di kota besar. Di
Jakarta, mereka nyaris ada di mana-mana. Di perempatan jalan, berkeliling dari
satu mobil ke mobil lain di tengah kemacetan, duduk di jembatan penyeberangan, atau
menyusuri gerbong demi gerbong kereta rel listrik. Bagaimanapun, Jakarta, si
kota sejuta mimpi, tak bisa menghindari kehadiran orang-orang yang berangan-angan
bisa merubah nasib, juga tak bisa melawan ketika slum area bertumbuhan sama
cepatnya dengan pembangunan mall dan jalan layang.
Ketika bulan Ramadhan tiba, entah dari mana populasi gepeng
di hari-hari puasa bertambah. Bukan hanya di tempat-tempat biasa, di bulan
Ramadhan konsentrasi keberadaan mereka hingga di halaman masjid-masjid besar
dan pemakamam. Bulan ibadah bagi umat muslim itu menjadi momen bagi gepeng
untuk menambah penghasilan, terutama di kota besar seperti Jakarta. Penerimaan
warga Jakarta terhadap kehadiran mereka pun beragam. Para pengguna jembatan
penyeberangan biasanya risih dengan kehadiran mereka di sepanjang jembatan.
Begitu pula pengguna jalan raya yang kerap di hampiri ketika berhenti di perempatan
lampu merah. Ada pula yang dengan senang hati memberi koin lima ratus atau
seribu bahkan memberi tambahan roti dan minuman, sedekah, katanya.
Gepeng adalah salah satu faktor yang menggagalkan cita-cita
Jakarta menjadi kota yang Beriman alias bersih indah dan nyaman. Dan satpol PP
atau yang disebut kamtib oleh para gepeng rutin mengagendakan penertiban gepeng
di hari-hari ramadhan. Sedari dulu langkah yang diambil selalu sama, satpol PP
beroperasi, gepeng berlarian, mereka berkejaran, yang tertangkap di bawa ke
panti sosial untuk diberikan pembinaan sosial, yang lolos sembunyi sementara
untuk kembali ber-gepeng esok harinya.
Melihat fenomena ini, nampak pemerintah bersikap ragu-ragu. Sikap
ragu-ragu ini tercermin dari tindakan pemerintah dalam mengatasi keberadaan
gepeng. Tindakannya begitu-begitu saja. Pola lama. Tidak banyak memberikan
perubahan. Yang ada justru semakin sering satpol PP beroperasi, panti sosial
semakin kelebihan beban, setelah selesai pembinaan, gepeng yang sudah pernah
terjaring pun belum tentu kapok dengan tidak meng-gepeng lagi. Dan saya yakin,
pemerintah bukannya tidak tahu hal ini. Pemerintah Daerah di beberapa provinsi
bahkan memotong anggaran pengelolaan panti sosial karena dianggap tidak
memberikan keuntungan.
Masyarakat kota besar pun bersikap ragu-ragu terhadap
kehadiran mereka. Di satu sisi ada yang merasa terganggu dan merasa tidak
nyaman, di sisi lain oke-oke saja, bahkan dengan rela menyempatkan memberi.
Memang, memberi pada orang yang meminta-minta adalah hal yang dianjurkan. Apa lagi
yang diminta adalah orang yang berpunya. Betapa kikirnya orang berpunya yang
telah diminta, tapi tetap menyembunyikan tangannya dan enggan memberi. Tetapi terhadap
gepeng di kota besar, penderma menjadi skeptis; apa benar si gepeng itu fakir
miskin?, apa benar si gepeng itu benar-benar tak mampu bekerja lagi sehingga
memilih meminta-minta?, berapa penghasilannya sehari, kalau dikumpulkan dalam
sebulan, apa lebih besar dari gaji bulanan karyawan pada umumnya?, atau berprasangka;
jangan-jangan uang yang diberikan untuk membeli rokok, untuk membeli minuman
keras, untuk membeli narkoba, ah, betapa sia-sia.
Saya sendiri berpendapat, ketika hati ini ragu dan tidak
ikhlas, sebaiknya tidak usah berderma. Menolak dengan halus dan dengan
kata-kata yang baik tidak akan membuat saya rugi. Semua orang ingin apa yang
didermakannya menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain yang
sungguh-sungguh membutuhkan. Bukan untuk menambah-nambah kekayaan orang yang
malas bekerja. Tapi apakah ada pilihan?
Tentu saja ada. Saat ini banyak penyalur zakat, amal,
sedekah, perpuluhan, atau apapun namanya, untuk orang-orang yang sungguh-sungguh
membutuhkan. Seringkali, program-program yang dibuat lembaga-lembaga ini adalah
program produktif, memberi modal untuk orang yang mau berusaha agar mereka tidak
(lagi) meminta-minta.
Kesimpulannya, mungkin penertiban gepeng perlu tetap
dilakukan. Tetapi, menggalakkan anjuran untuk berderma melalui lembaga yang
dapat dipercaya, mungkin bisa lebih efektif. Secara frontal, mari kita
bayangkan spanduk besar bertuliskan, ‘dermakan harta anda melalui lembaga
zakat-infaq bla-bla-bla’ di perempatan lampu merah jalan, atau di stasiun, atau
di terminal, atau di jembatan penyebrangan. Orang akan lantas ingat bahwa ada
jalur yang lebih bisa membuat hati ini pasti dan ikhlas untuk memberi. Mungkin suatu
saat, penderma koin 500 rupiah berkurang, penghasilan gepeng berkurang, gepeng
berhenti menggepeng, gepeng masuk program dari lembaga penyalur derma, dan kota
besar seperti Jakarta mungkin saja berwajah baru. Mungkin.*diucapkan dengan
nada optimis.
No comments:
Post a Comment