Jadi, pada
generasi saya lah, ada film Indonesia yang juga di tayangkan secara komersil di
Amerika, Kanada, dan Australia; The Raid atau bahasa Indonesianya Serbuan Maut.
Berawal dari keikutsertaanya di Toronto International Film Festival, film yang
jualan teknik bela diri pencak silat ini ternyata laku dan meraih The Caddilac
People’s Choice Award pada kategori Midnight Madness. Intinya ini film sukses,
dan saya senang karena sudah menontonnya hari ini (24/3).
Dari judul dan
poster filmnya, kita tahu kalau film ini pasti ada adegan berantemnya. Berantem
dengan senjata ataupun tanpa senjata tetap saja bentuk kekerasan, yang walaupun
cuma di film alias bohongan, tetap harus dihindari oleh anak-anak. Lantas,
kenapa hari ini ketika saya nonton di Studio 4 Bioskop 21 di Bogor Trade Mall,
Bogor, pada jam tayang 12.30, di barisan depan (sekitar row 5-10), ada satu
keluarga dengan 2 orang anak yang masih kecil-kecil bersiap nonton? Ngga salah
studio? (pada saat yang sama di studio lain ada film Negeri 5 Menara, Love Is
Brondong, The Woman in Black, dan Santet Kuntilanak – The Raid dan Santet
Kuntilanak di beri label D berwarna merah yang artinya khusus dewasa). Saya berpikir;
mungkin mereka mau nonton Negeri 5 Menara tapi salah studio.
Baiklah, lalu
karena bangku sudah penuh, filmpun dimulai. Dengan asumsi yang saya bangun
sendiri, bahwa keluarga itu ingin menonton Negeri 5 Menara tapi salah studio,
saya mengamati semuanya. Adegan awal-awal adalah sang pemeran utama Iko Uwais
sebagai Rama sedang melakukan shalat. Karena adegan ini bisa jadi mirip-mirip
adegan di Negeri 5 Menara (belum pernah nonton Negeri 5 Menara), maka saya
lihat keluarga itu tenang-tenang saja. Adegan selanjutnya adalah sepasukan
khusus dengan seragam hitam-hitam dan senjata lengkap sedang dibriefing oleh
seorang letnan di dalam mobil yang membawa mereka ke suatu tempat. Nah, adegan
ini tentu saja bukan adegan wajar yang mungkin ditemui di film Negeri 5 Menara,
jadi, pada saat ini lah keluarga itu mestinya mulai menyadari kalau mereka salah
studio. Adegan pasukan dalam mobil ini selang-seling dengan adegan Ray Sahetapi
sebagai Tama (pemeran antagonis utama) menghabisi nyawa 6 orang yang berlutut
sambil diikat mulut dan tangannya, dengan cara menembak kepala
masing-masingnya. Jedor-Jedor-Jedor-Jedor-Jedor, orang ke 6 peluru habis, maka
kepalanya dipukul dengan martil. Saat itulah, saya lihat keluarga itu beranjak
sambil membawa anak-anak mereka. Tuh kan, salah studio, ini bukan Negeri 5 Menara,
ini The Raid.
Lho, tapi kan
tadi di awal film, terpampang jelas judulnya. Berarti, tidak salah studio
(asumsi saya juga salah), tapi salah pilih film. Lalu, saya lihat si ayah (dari
keluarga itu tadi), balik lagi sendiri tanpa istri dan anak-anaknya untuk
nonton tanpa diganggu.
Film pun terus
berlalu. Benar saja, >95% adegannya adalah kekerasan; kelahi pencak silat,
tembak-tembakan, gorok leher, tusuk pakai pisau, dan kata-kata makian seperti
guk-guk dan nguik-nguik. Untuk film Indonesia, efek tembak-tembakan, gorok
leher, dan tusuk pakai pisau tergolong bagus. Sangat bagus malah, karena belum
ada saingannya. Pencak silatnya juga bolehlah saingan sama Jackie Chan. Semua kelihatannya
kayak beneran. Kalau ada hal-hal aneh, ngga ngurangin nilai yang saya kasih
untuk film ini. Komposisi musik dan penataan suara sebagai efek yang semakin
membentuk suasana di masing-masing adegan juga bagus. Konon, untuk versi yang
tayang di luar negeri, komposisi musik dipegang oleh Mike Shinoda dan Joseph Trapanese.
Kalau pilihan
film Indonesia selama ini berkisar pocong dan kuntilanak, maka kehadiran The
Raid adalah kejutan segar yang patut diacungi jempol. Bahkan menyaingi film
sebelumnya dari sutradara yang sama yang berjudul Merantau.
Keluar dari
studio, saya berpapasan dengan keluarga tadi. Si ayah bilang, untung tadi ngga
dilanjut nontonnya, karena sadis dan banyak kata-kata kasar. Si ibu bertanya,
kok bisa sih yah film kayak gitu dapet penghargaan. Si ayah hanya tertawa
(mungkin dalam hati sebenarnya kagum dengan The Raid).
Saya yang
nguping, menjawab (tapi dalam hati), ya bisa laah, kan penghargaannya kategori
Midnight Madness :)
Andai saja,
mereka tidak perlu memilih The Raid untuk ditonton bersama putra-putri mereka,
pasti si ibu tak akan pernah mempertanyakan kenapa film semacam The Raid
mendapat penghargaan. Itulah, ketika saya berkesimpulan, sebagus apapun sebuah
karya, jika bukan dinikmati oleh orang yang bukan dari target penikmat karya
tersebut, maka karya itu akan selalu jelek. Selalu tak layak dan tak patut. Bukan
salah pembuatnya, tapi karena ketidak hati-hatian kita sehingga menjadi
penikmat karya di tempat yang tidak tepat.
No comments:
Post a Comment