Setiap pagi dan sore, dalam perjalanan saya menuju tempat
bekerja, saya selalu disuguhi pemandangan yang sama; kereta rel listrik (KRL)
Jakarta – Bogor yang gerbongnya penuh berdesakan, hingga pintu KRL AC tidak
bisa ditutup atau hingga naik ke atap dan bergelantungan di pintu KRL ekonomi.
Bagi saya, hal itu adalah sebuah pemandangan. Karena saya
selalu melihatnya dari sisi seberang. Ketika pagi, saya berdiri di peron KRL
arah Bogor, dan melihat betapa membludaknya para komuter yang bekerja ke
Jakarta. Ketika sore, saya kembali ke Jakarta, dan melihat wajah-wajah yang telah
berubah lelah, berdesakan di kereta untuk pulang. Untuk kembali ke rutinitas
yang sama keesokan harinya.
Photo: Me |
Dalam jarak itu, terlintas di pikiran saya, bahwa para
komuter ini yang setia berkereta untuk berangkat dan pulang kerja (mereka juga
saya menamakan diri kami roker- rombongan kereta), adalah manusia-manusia yang
mau tak mau, harus dan bisa menaklukan trauma dan rasa takut, lalu beradaptasi.
Bukan hanya satu atau dua roker yang mengalami kecopetan atau
minimal melihat orang kecopetan di kereta atau stasiun. Bahkan satu orang bisa
kecopetan lebih dari satu kali. Tapi mereka tidak lantas trauma dan takut
hingga berhenti naik kereta lalu mencari alternatif berkendara lain. Tidak.
Mereka, juga saya (karena saya juga pernah kecopetan) tetap saja naik kereta,
dengan mengantongi pelajaran berharga yang memaksa kita belajar; bagaimana
supaya tidak kecopetan.
Bukan hanya satu atau dua roker wanita yang menjadi korban
pelecehan di kereta. Berhimpitan begitu lekat antara satu orang dengan orang
lainnya, berbagi bau dan suhu tubuh tanpa bisa menghindar kemana-mana, tentu
saja membuka peluang besar bagi orang-orang yang memang senang memanfaatkan
situasi. Tapi apa lantas mereka trauma lalu berhenti naik kereta? Tidak. Pagi
dan sore, tetap saja mereka lebur ke dalam sesaknya manusia di dalam rangkaian
kereta, mungkin sambil lebih banyak berdoa. Semoga hari ini, tidak ketemu lagi
dengan orang yang senang memanfaatkan situasi. Kalaupun trauma pelecehan yang
dialami terlalu mengguncangkan, tetap saja mereka naik kereta tapi di gerbong
khusus wanita.
Bukan satu dua roker yang mengalami terkena lemparan batu
dari entah siapa di pinggiran rel sana. Atau minimal melihat korban lemparan
batu, yang luka kepala, yang lebam kakinya, yang terkena pecahan kaca, tapi apa
kemudian berhenti naik kereta? Tidak. Tetap saja naik kereta. Dengan lebih
hati-hati memilih posisi duduk/berdiri, sambil diam-diam berdoa dalam hati,
agar perjalanan kereta ini selamat sampai di stasiun tujuan nanti.
Tanpa disadari, KRL Jabodetabek telah melatih kita menjadi
manusia yang lebih hati-hati. Menjadi manusia yang kuat. Menjadi manusia yang
mau tidak mau harus mampu mengatasi trauma.
Membuat kita semakin sadar, dalam situasi yang tak banyak bisa kita
manipulasi, pasrah, dan menjalani saja apa adanya menjadi satu-satu jalan untuk
tetap hidup. Dalam pasrah itu, kita menjadi manusia yang semakin religius,
semakin banyak berdoa. Pada kuasa Tuhan dan lindunganNya kita menyerahkan
keselamatan perjalanan berkereta kita. Lalu, semoga, dengan banyak berdoa, kita
pun hidup kita akan selamat karena dekat denganNya.
Amin.
No comments:
Post a Comment