Mungkin tulisan ini, memiliki
sisi-sisi kontradiktif dengan tulisan sebelumnya di sini. Namun, seperti nama
blog ini, otak memang seperti taman labirin yang mewujud liku dan kelok dimana
tercipta sudut dan ruang tak terduga, sebuah ketersesatan yang menyenangkan.
Semoga anda tak bosan dengan
bahasan ‘memberi dan menerima’, aktivitas lazim bagi manusia sebagai makhluk
sosial. Namun, entah karena perkembangan kemanusiaan yang semakin individualis
dan pamrih, aktivitas ini menjadi unik dan spesial. Memberi dan menerima
menjadi memiliki nilai prestise lebih kini. Entah siapa yang memulai. Entah mass unconciusness atau mass media yang memberikan prestise pada
aktivitas (memberi) ini. Padahal, sekali lagi, aktivitas ini bisa dikatakan
basic bagi manusia sebagai makhluk sosial.
Sebutlah serangkaian reality show
televisi yang menjadikan aktivitas memberi dan menerima sebagai konsep utama,
mulai dari memperbaiki rumah yang bobrok, mengetes kedermawanan orang-orang
dengan meminta tolong, atau ikut tinggal dan bekerja dengan orang yang dianggap
tak punya, dan mungkin ada lagi yang lain. Acara ini nampak mengemban semangat
berbagi yang positif, meski jika dilihat dari sisi yang lain, juga nampak
mengeksplotasi kemiskinan untuk mencari keuntungan. Anda berdiri di sisi yang
mana, silahkan putuskan sendiri.
Drama, adalah hal penting yang
dicari untuk suksesnya acara semacam ini. Maka, sangat mungkin diakhir acara
ketika terjadi aktivitas memberi dan menerima, pemirsa disuguhi adegan dramatis
ketika baik si pemberi dan penerima sama-sama menangis, dan kadang lebih dari
itu. si penerima bisa juga menangis hingga pingsan, atau bersujud, atau
macam-macamlah ekspresi dramatis lainnya.
Namun, dibalik ekspresi dramatis
yang terlihat sebagai perwujudan rasa syukur itu, siapa yang tahu hatinya?
Ada sebuah kejadian, ketika
seorang pegawai kantor pulang bekerja membawa nasi kotak jatah rapat yang belum
sempat ia makan. Merasa terlalu repot untuk membawa nasi kotak dan naik bis
yang berdesakan, ia memutuskan untuk memberikan nasi kotak itu orang yang ia
temui di jalan dan tampak membutuhkan makan. Maka ketika ia melihat seorang
nenek, berpakaian lusuh, duduk termenung di trotoar, tak pikir dua kali ia
memberikan nasi kotak itu kepada sang nenek. Reaksi si nenek, persis adegan
dramatis akhir acara yang dibahas di atas. Ia menangis terisak-isak sambil
menerima nasi kotak pemberian si pegawai. Si pegawai pun terusik. Kenapa sih
dia tidak memilih reaksi lain, tapi malah menangis. Kan masih banyak reaksi
yang bisa dipilih. Tersenyum, bilang terimakasih, tertawa, atau apalah yang
lainnya. Penasaran, lalu ia bertanya, mengapa nenek menangis?
Jawabannya, membuat si pegawai
terpaku. Nenek menangis, karena ia malu. Ia malu karena orang-orang dapat
dengan jelas melihat bahwa ia orang yang susah, sampai-sampai si pegawai tak
ragu memberikan nasi kotak untuknya. Ia sedih, mengapa ia menjadi orang dengan
hidup yang begitu susahnya ia sampai-sampai dikasihani orang. Ia malu dan sedih
(-bukan terharu karena diberi makanan), maka ia menangis.
Jika anda pernah
menjadi pemirsa dari salah satu acara yang dibahas di atas, maka, ketika adegan
dramatis terjadi di akhir acara, anda perlu mempertanyakan. Apa sesungguhnya
dibalik tangis yang dipertontonkan di sana?
No comments:
Post a Comment